Ibnu Zakariya Hasan

Oleh: Ibnu Zakariya Hasan

Aku merundung dalam pekatku. Ini langit tanpa cahaya. Bintang disana tak berguna, buang saja..!!!. seraya di sayat hatiku penuh gelap. Atap-atap tempatku berteduh masih memberi hujan. Badan ini basah tak karuan. Kasur kapuk penuh debu. Ibu tak berani mencucinya. Sprei ini zha yang pasang. Jadi ku keramatkan saja. Di bawah ranjang ada piring-piring kotor berserakan. Itu bekas kemarin aku makan. Ibu yang mengantarkan. seperti biasa, ia bawa dan hanya sesekali aku makan.


Biar..!!biar diri ini lapuk dan layu. Ku sumpah-sumpah diriku hina. Aku tak berguna. Ibu saja mengurungku di ruang sempit ini. Dengan rantai dikakiku, dan dengan gembok menyantol di ujung pintu. Katanya aku sering mengamuk. ruang ini pun bagai kandang sapi. Dan mereka memang menganggap aku sapi.. aku sapi..!!!
Kemarin, orang itu datang lagi, si baju putih dan Tanya –tanya aku banyak sekali. Kucakar-cakar saja dia. Wajahnya jadi penuh luka, mengaduh-aduh dan tak berani lagi dekat denganku. Katanya aku harus dibawa saja kesana. Disana banyak teman-teman yang serupa denganku. Tapi aku tak mau! Ini seprei zha yang pasang!. Baju-baju zha pun masih ada di lemari. Foto-fotonya yang tersenyum kepadaku, harum tubuhnya di bantal itu, dan kurasakan pelukannya saat aku berbaring di kandang ini.
Pernah abangku kesini. Aku di tendangnya dan diseretnya aku ke kamar mandi. Air itu membanjiri jasadku. Aku malah tertawa. Ibu yang menangis, menangis sejadi-jadinya.
Abangku murka dan di hajarnya aku berkali-kali… aku jatuh, tersungkur di lantai basah penuh air seniku. Aku senantiasa menyebut nama zha…, 
 “ ZHA….!!! ZHA..!!!”. 
 “ PLAKKK…!!!”. Lagi, abangku memukulku. Ia benci sekali denganku. Dengan zha. Tetanggaku pun sama. Ia yang membuat genteng kamarku bocor. Saat aku berteriak-teriak “ZHA…!!” batu itu melayang-layang dan menghantam atapku. Mengapa mereka seperti itu padaku?. Aku hanya mencintai zha.. aku menyayanginya.. sungguh!
   
                                                                      ***


Kata ibu, zha sudah tiada. “Zha sudah mati … ervan!!!”teriaknya.
“Zha hidup ibu.. dia disini.. ibu tak melihat”. Sejadi-jadinya ibu menangis lagi. Aku mengusap-usap bantal kusut tak bersarung. Itu harum sekali. Harumnya zha masih lekat di hidungku. Aku ingat saat malam itu. Itu malam pertama zha tidur disisiku. Ia cantik. Penuh bunga disekelilingnya. Tapi katanya ia lelah. Seharian menerima tamu undangan pesta pernikahan kami. Di pesta itu aku bahagia sekali, zha pun demikian. Teman-teman kantorku berdatangan, mereka membawa kado dan ucapkan kata selamat. Ramainya orang berdatangan tak membagi perhatianku. Aku tetap menatap zha.. ia bunga. Indah nian gaun itu dikenakannya. Tak ada yang lebih cantik dari dia. Aku memimpikan hari ini di sepanjang malamku. Ia gadis penuh pesona.senyumnya indah, matanya teduh, dan hatinya laksana sang dewi. Aku bagai bermimpi mendapatkannya. Aku terus memuja-muja dan ku panjatkan syukur pada yang kuasa. Disana juga zha terus tertawa, menandakan ia juga bahagia. Ibu.. ku lihat ibu tak henti-hentiya tersenyum menyalami orang yang berdatangan. Abang pras.., ia gagah, dengan jas setelan lengkap dan sepatu pantofel hitam mengkilat. Ahg… tak ada yang lebih indah dari hari itu.
Malamnya zha tidur disisiku. Ia pasang seprei bermotif bunga berwarna merah. Dia merebah dan meniduri bantal yang kini aku pegang. Sungguh wanginya masih melekat. Sepreinya pun masih hangat kurasakan. Walau kata ibu sepreiku sudah seperti karung kumal, dan bantalku bak cucian busuk.karna sudah hampir satu tahun kutiduri tanpa pernah dicuci.

  ***  
 Esoknya, aku dan zha sudah siap mendaki. Ini rencanaku dan aku yang menginginkannya. Walau zha senantiasa bilang takut, tapi kubesarkan hatinya.
 “ disana indah zha… kau bisa melihat edelweiss itu bermekaran, lembayung senja yang memerah, dan hamparan rumput hijau di perbukitan. Kalau kau tak kuat berjalan, biar aku menggendongmu!”. Zha tersenyum. Ia peluk aku. Hangat sekali. Manjanya buatku terbuai antara steva dan sabana yang akan kukunjungi.
 “ tapi gak akan apa-apa kan bang..?!”. zha menatap mataku, kuselami binar matanya yang berkaca.
 “ ga apa-apa zha..sayang… kan ada abang…”. Ia peluk aku lagi, aku mengerti ini pengalaman perdananya mendaki. Tapi sudah berkali-kali aku terjatuh bangun dalam semak dan jurang disana. Aku telah mumpuni untuk survive di hutan.
“Ini akan jadi sebuah kisah indah bagi anak anak kita kelak.!!.”. seruku tak henti.

                                                                           ***
Hutan, di antara ilalang panjang dan pohon- pohon yang besar. Zha sedikit terengah. Ku tuntun dia dan merebah kami pada batang yang besar. Siang menyengat, cahayanya bahkan menembus hingga ranting terkecil di bawah kaki ku. Zha mengambil air minum di tasnya. Aku terkesiap mengusap peluh-peluh yang membasahi dahinya. Dia masih indah, walau disengat beribu lebah kuyakin ia tetap indah.
 “ bang nanti kalau sudah punya uang cukup, kita pindah cari rumah baru…, gak enak numpang terus sama ibu”. Zha memberikan airnya padaku. Aku buka tutup botol itu dan menenggaknya.
 “ iya sayang.. nanti kita beli rumah baru..”
 “aku ingin punya kebun di belakangnya, aku ingin menanam adenium dan anggrek loka”. Zha menerawang menembus batas waktu. Matanya menatap keatas, dan senyumnya terurai-urai.
 “pasti sayang… nanti abang buatkan taman dan kolam ikan, abang juga ingin melihat ikan-ikan koi itu berenang menghibur kita.” Aku mengusap-usap rambutnya yang lembut bak salju.
 “ tapi asik juga ya bang.. di hutan berdua seperti ini”. Zha tertawa kecil
 “ romantiskan…?” aku menggoda, zha mendelik-delik manja.
 “ ayo lanjut lagi.. masih kuatkan.?” Aku bangkit zha bangkit. Aku menuntunnya.
Kutelusuri jalan-jalan setapak itu dengan keriangan. Sesekali zha bergelayut manja di pundakku. Aku petik sebuah edelweiss ketika sampai di sebuah padang rumput hijau tak bertuan. Aku ingat, aku pernah kesini sebelumnya dengan teman-teman mapalaku. Saat itu hanya hanphone ku saja yang mendapat signal. Jadi aku bisa menelepon zha yang saat itu sedang kuliah. Zha riang sekali kutelepon dari sini. Ia bilang ia minta kupetikkan sebuah edelweiss yang paling indah.aku bilang “edelweiss itu semuanya indah zha..jadi kau minta saja yang paling tua..”. ia tertawa.

Sampai kami pada sebuah tanah yang keras. Disitu rumput-rumputnya mati terinjak-injak. Disisinya pula ada parit yang berjelaga. Menandakan tempat ini pernah dipakai camp oleh pendaki lain. Kupastikan tempat itu aman, dan kudirikan sebuah dom berukuran dua kali dua . di depannya, kurakit kayu-kayu kering tuk unggun malam nanti.
Senja mulai memerah, awan-awan menghitam,di barat bahkan awannya sangat hitam, menandakan disana sedang hujan. di antaranya juga ada kelompok burung yang terbang ke utara. Suara-suara serangga hutan itu bagai terngiang-ngiang langsung di labirin telinga. Yah..Selaksa alam ini memberikan simponi yang megah untukku. Entah untuk zha. Dari tadi ia masih berbaring di atas matras yang ku gelar. Ia hanya melihatku berjibaku dengan patok-patok yang kutanam ke tanah.
 “ sip.. sudah selesai…”. Ujarku mengusap keringat.
 “ ayo sayang… masuk..”. zha beranjak, aku membawakan tasnya ke dalam tenda.
 “ aku ingin ke air bang…”. Tas itu baru kutaruh dan belum sempat kurapihkan.
 “ ayo.. sayang.. disana ada sungai…”. Zha melepas sepatunya dan berganti dengan sandal.
Jarak sungai itu tak terlalu jauh, hanya 20 meter dari campku. Sengaja, air itu adalah pusat kehidupan. Jadi jika kita hendak camp haruslah dekat air.
sungai itu pun selebar pohon pinus yang kutemui tadi. Kira-kira sejanjang 30 kaki, cukup lebar untuk mengalirkan air hingga ke hulu. Di barat awan semakin saja pekat.
  “ ya sudah zha.. kamu di belakang batu itu saja.. abang takan mengintip”.aku menunjuk batu besar di tengah sungai yang dangkal itu, zha ingin membuang urinenya yang sedari tadi ditahan. 
Awan hitam itu kian pekat kurasakan, aku mencoba mereka-reka di balikya, kelompok burung itupun semakin banyak berterbangan. Mereka gaduh, seperti ada sesuatu. Bersatu.. berpencar.. bertabrakan.., dan mereka terbang ke utara.. ke arahku!.!
Suara kera-kera hutan terdengar. Mereka jarang sekali berteriak-teriak seperti ini, mereka membuat sebuah komposisi musik yang menyeramkan. Aku tau itu. Pasti ada sesuatu. Aku berfikir keras tentang itu. Ada apa dengan alam ini?.
Tiba-tiba suara gemuruh munusuk-nusuk telingaku, semakin keras- semakin keras. Itu dari barat… itu dari.. barat..
 “ ZHA…..!!!!!”Aku berteriak sejadi-jadinya. Air bah itu datang dari belakang bukit. Zha masih di sungai.
 “ ZHA…!!!!” aku panik, zha tak menyadari apa yang terjadi. Aku berlari.. terpingkal diantara bebatuan sungai. Zha melihatku… namun tiba-tiba air bah itu menyambar bak petir. Menebak tubuh zha yang tak berdaya. Zha hilang…zha hilang… air setinggi atap rumah itu membawanya aku menyoroti setiap riaknya.. itu zha… dia terhuyung huyung di bawa arus. Ia timbul.. tenggelam.. lalu timbul.. aku pun berenang mengarungi ombak itu..terantuk-antuk menabrak batu besar. Zha..!!! zha..!!!! aku melihatnya. Dan kupercepat gerakku, tak terpikir air memancar deras sekali, aku hanya ingin menggapainya… ZHA..!!! ZHA…!!!. Bertahanlah…, air itu terus membawanya…menepikan nya ketempat entah berantah, dan zha… menghilang. 

                                                                             ***
 Aku menangisi akan apa yang terjadi. Di kamar ini kutumpahkan sesalku. Aku tersedu, terbahak, berteriak, meronta, bergeliat, dan membanting-banting kepalaku. Aku juga mengusap seprei itu, menciumnya, membasahinya, mendewakannya.
Zha..hilang, aku diselamatkan tim SAR karna tersangkut pada akar pepohonan disisi sungai.
Itu lebih buatku menyesal. Mengapa tak kau lenyapkan saja aku wahai Bah!. Dari pada aku harus merindukan zha disetiap detak jantungku ini. Zha tak akan pernah lagi ku peluk. Ia hanya bayang di otakku yang terus saja kuhancurkan.
Aku tak lagi bekerja, aku tak lagi bisa berkata pada dunia. Aku menyumpahi saja diriku setiap saat. Aku juga membentuk lukisan didinding tentang rumah yang zha idam-idamkan. Pekarangan itu, hijaunya dahan, dan anak-anak kami yang berlarian.
Kubangun sendiri duniaku, awan biru meneduhkan, pelangi-pelangi dikala hujan, dan bias-bias senja diantara matahari yang enggan pulang.
 “ BRAKKK!!!”
pintu itu ditendangnya. Aku gemetar, hilang awan biru meneduhkan itu, pelangi juga tak lagi dimataku.
 “Bangun Van!!” ia tarik-tarik kerah bajuku yang usang, ia mendengus lalu menutup hidungnya dengan tangan. Di jatuhkannya lagi aku ke kasur.
 “ mau sampai kapan kau begini..!!! apakah kau tak melihat ibu begitu menderita melihat kelakuanmu!!” ia menghardik, aku membulat-bulatkan mataku menatapnya. Lagi-lagi.. jika ia datang kesini pasti badanku habis dipukulinya.
 “ abang tau kamu sadar..!!,” ia pandang mukaku tajam. Badannya yang besar bagai air bah di sungai itu.
 “ AHHGG…!!!!”.aku mengamuk sejadinya. Ia mundur dan sedikit getir melihatku.
 PRAnk.!! Kaca itu ku pecah, aku meraung-raung… berteriak.. menangis…, ibu juga menangis.., abang pras sedikit berkaca. Kuhancurkan kamar itu, lukisan rumah, piring-piring di bawah, foto-foto zha.. seprei..kumal merah, bantal-bantal busuk. Segalanya.
Hujan turun tiba-tiba.. airnya jatuh di di penghujung isakku, itu menetes dari lubang-lubang atap.., ibu baru sadar jika ada lubang diatas situ. Aku benturkan kepalaku di dinding itu. Abang menyanggah dan menariku menjauh. Aku semakin saja membenturkannya didinding itu.. mataku pias, kepalaku pening, di keremangan aku melihat zha… sungguh.. itu zha… ia menghampiriku.. ia menatapku.., ia tersenyum padaku. Aku berlari memeluknya, kudekap erat dan tak akan pernah ku lepas. Dalam bisiknya aku mendengar.
 “ abang… jika abang sayang zha.., abang harus bangun…, bangun bang… bangun..” tiba-tiba zha melenyap begitu saja.. aku terisak-isak.. nafasku berbuku-buku.
“ jangan pergi zha…!!!”
“ ZHA…!!!” langit itu kupecah…, malam itu ku bungkam dan Air-air itu membias diantara hatiku, ibu memelukku, menangis. Tiba-tiba hatiku bergetar-getar kurasakan bisikan-bisikan zha tadi berdengung dengung tanpa henti. Hatiku lalu lunglai.. isak ku terhenti dan ku pandang wajah ibu.. , kerut-kerut senja begitu tampak diwajahnya. Aku pegang kedua bahunya.
 “ mandikan aku bu.., aku ingin makan, dan aku ingin memohon ampun pada tuhanku”. 
Bekasi, April 2009

 




Label:artikel
0 Responses

Post a Comment