Ibnu Zakariya Hasan

oleh: Abdul Razak M.H. Pulo

  Bertahun-tahun aku dikuasai cahaya hijau. Ia makhluk berbentuk tak beraturan dengan cakar-cakar baja yang setiap saat mencengkram tubuhku. Melumat perasaanku. Menguasai pikiranku. Bisikannya tak kuasa kubendung. Bisikannya menghantam imajinasiku, bahkan mengalahkan egoku. Tergeletak aku dalam dunia ciptaan bayang-bayangnya. Malam seolah tak berganti siang. Kehangatan membeku. Ceria dirundung derita. Di sekelilingku selalu remang-remang laksana senja kala di penghujung musim hujan.

  Sebelum cahaya hijau merajai istana kehidupanku, aku bersama teman-teman sekampung ramai-ramai mengabdikan diri tanpa pikir panjang untuk menjadi anggota organisasi terlarang, yang melancarkan serangan kepada pemerintah sah negeri ini. Dilatih kami menggunakan senjata di tengah belantara. Kami melalui malam-malam kelam yang tak bercahaya dan siang-siang lambat yang merayap tak bertenaga. Setelah dua puluh hari diberi bekal keahlian kokang senjata, diajak kami menyerang sebuah pos tentara di kampungku.

Letusan bedil sahut-sahutan bagai lolongan serigala di bawah bayangan bulan purnama. Berdesing-desing peluru, memendar percikan api bagai kepingan-kepingan emas yang melesat di udara. Teriakan-teriakan seakan menjembol gendang telinga. Rintihan teman di sampingku, teman karibku, menghujam perasaan paling sensitif yang aku punya. Aku tiarap. Meraih tangannya. Dia mati! Darah tergenang dalam lubang-lubang bekas jejak sepatu: kental, pekat.


  Aku dibangunkan gagak-gagak hitam yang terbang mengitari pucuk-pucuk pohon. Seolah mereka sedang menatap tajam ke arahku. Pelupuk mataku berat kupaksa buka. Segera saja mataku menangkap puluhan tubuh tergeletak kaku. Tak ada yang tegak berdiri. Aku merasa diriku bagai sekerat daging yang siap dicabik gagak-gagak bermata merah itu.

  Aku bangkit. Tatapanku nanar menyentuh ruang-ruang kosong di sudut-sudut gubuk pelepah rumbia. Lolongan anjing hutan yang menyelinap di sela-sela pohon memantul ke kupingku. Desir hasrat merah darah kering menganyirkan bau udara, menggelitiki hidungku. Bangkai-bangkai manusia berserakan. Selongsong peluru bertabur tak beraturan. Beberapa pucuk bedil tercampak begitu saja. Pistol di pinggangku masih utuh. Kucabut. Kutembakkan ke udara berkali-kali. Menggelegar. Gagak-gagak buyar.

  Cicit burung pipit, lenguhan kerbau. desau angin, gemerisik daun, suara jangkrik, dan lolongan anjing hutan bersatu-padu menggubah simfoni alam menjadi irama nestapa.

  Temanku mati. Ayahku pun kudapati mati terpanggang di antara bara api dan puing-puing di atas lantai-tanah gubuk kami. Kematian Ayah membuatku sepi. Tak akan ada lagi kicau burung. Tak akan ada lagi canda saat menjual bakung. Tak ada lagi tempat bertanya baris-baris kitab kuning. Semua sirna, pudar menuju hitam. Kelam. Gulita! “Aku keluarr...” teriakku dahsyat.

  Aku keluar. Aku bukan lagi anggota organisasi keparat itu. Aku menyesal. Sia-sia kubergabung. Pistol dan beberapa pelurunya kubuang ke rawa-rawa. Terseok-seok aku berjalan. Pikiranku tertuju kepada Ibu.

  “Ibuku, sudah hijrah ke Desa Fajar, kampung nenekku, semenjak ketentraman terenggut dari kampung kami. Ayah tidak mau ikut kala itu, katanya ia akan menyusul setelah panen tiba. Ayahku menanam kacang kuning dan jagung dua-tongkol. Hampir panen. Tapi, kini ayah telah tiada. Seluruh penduduk kampung telah eksodus ke masjid dan sekolah di pinggir jalan raya. Mereka meninggalkan rumah, ternak, sawah, ladang. Tikus, babi, dan kera pasti akan berpesta pora di sana- di lahan-lahan yang terbengkalai.

  Berita kematian ayah membuat ibuku sangat terpukul. Ia semakin kurus. Pada saat yang sama, aku mendapati diriku termenung sepanjang hari. Dan aku lebih suka mengurung diri di dalam bilik gubuk kayu peninggalan nenek di Desa Fajar. Sebuah desa yang bergunung-gunung, berlembah—lembah. Dan matahari selalu memberinya sinar secara sempurna.

  Tujuh bulan berlalu. Di belakang gubuk, terpacak aku menatap kosong bukit-bukit subur yang melatarbelakangi Lembah Leher Angsa. Tiba-tiba dari dasar lembah keluar cahaya hijau benderang melesat cepat ke arahku. Aku panik. Kaget. Gugup. Cahaya itu membentuk lingkaran parabola melingkupi seluruh tubuhku. Dalam sekejap muncul suara bisikan, tapi terdengar laksana auman singa di telingaku.

  Berbagai jenis suara kemudian datang silih berganti. Cahaya hijau berputar-putar melingkari tubuhku. Suara musik mirip irama padang pasir membuai pikiranku, entah dari mana asalnya. Dan pada saat yang sama, cahaya hijau itu mencengkram bumi. Menelusup ke dalamnya. Lalu naik dan menempel di telapak kakiku. Sekejap kemudian, terdengar suara azan. Dan saat itu pula, cahaya hijau berputar-putar di atas ubun-ubunku. Lalu tegak lurus menembus awan dalam hitungan detik.

  Beberapa detik berlalu. Cahaya hijau telah kembli. Kini, ia punya banyak lengan panjang sperti gurita. Aku terpana. Ternganga. Dan, oh, serta merta dengan cepat cahaya itu menerobos dari atas. Menembus puncak kepalaku. Terus menyusup sampai leher, lalu ke dada, perut, dan, ahh... ke seluruh tubuhku saat pertama ia masuk terasa sakit sekali, namun beberapa saat kemudian aku merasakan kedamaian yang luar biasa. Hijau. Hijau. silau. Pada saat itulah, aku berjanji kepada si cahaya hijau untuk akan mematuhi segala perintahnya.

  Antara diri-sadarku dan cahaya hijau saling berebutan menguasai ragaku. Perintah pertama yang diberikan cahaya hijau adalah menyuruhku mengambil pisau dapur, untuk menggorok leherku sendiri. Aku lakukan. Aku ambil sikap. Kugenggam erat gagang pisau. Kutarik “Sreet...tt..” Darah segar muncurat. Aku tersungkur. Aku mengerang. Meraung kesakitan. Untung saja ibuku, yang sedang menggoreng telur, menangkap eranganku yang perih. Terdengar suara langkahnya berlari. Ia berlutut, di hadapanku mataku yang berkunang. Menarik selendang di kepalanya dengan cekatan. Mengikat lukaku erat-erat supaya darah berhenti. Membalut leherku. Memanggil para tetangga dan membawaku ke rumah sakit. Aku mendapatkan enam jahitan. Aku sembuh. Tapi suaraku parau kini.

  Cahaya hijau datang dan marah besar. Kau telah melanggar janji. Kau harus menebus dosa, katanya.

  Cahaya hijau, inginkan aku menebus dosa dengan cara mati. Silih berganti kesadaran dan cahaya hijau menguasai ragaku juga jiwaku.

  Kepalaku terasa mau pecah. Burai. Sebulan kemudian aku minggat dari rumah, dengan menumpang bus umum menuju ibukota. Malamnya aku tidur di emperan toko di dalam pasar ibukota. Cahaya hijau terus saja menguntitku. Kurang ajar!

  Ia datang dan dengan cepat menerobos dari atas. Menembus puncak kepalaku. Terus menyusup sampai leher, lalu ke dada, perut dan berhenti di pinggangku. Sementara, salah satu tangannya yang keras mengebor sampai menembusi telapak kakiku, lalu naik ke paha, dan juga berhenti di pinggang. Kini ia sangat kuat. Ia memutar-mutar tubuhku layaknya sebuah gasing. Ia menarikku tanpa ampun, tak dapat kubendung. Disuruh aku menebus dosa dengan cara mencari kerja, ya kerja. Tapi ke mana aku dibawa? Ia terus menarikku dalam gerimis dan keremangan malam ke markas mahkluk-mahkluk coklat. Aku harus cari kerja di sana, tiada cara lain. Disuruh aku menghantam salah seorang dari mahkluk coklat, dengan cara begitu mereka akan menembakku, sehingga aku akan mati. Tertebuslah dosaku.

  Pukulan kuat kepalan tanganku menimpa wajah salah satu di antara mahluk coklat. Berdarah. ia terhuyung dan jatuh. Kemudian aku juga jatuh berguling-guling setelah tinju dan tunjangan teman-temannya menghujam tubuhku. Saat pukulan-pukulan itu menimpaku, tubuhku seolah-olah berserakan berkeping-keping, lalu menyatu kembali. Begitu seterusnya saat pukulan-pukulan mendarat di tubuhku. Tak ada sakit yang aku rasakan. Cahaya hijau masih di dalam tubuhku. Merayap-rayap. Mendenyut-denyut. Lalu terasa tubuhku diguyur dengan air bertubi-tubi, dingin sekali. Aku buka mata. Tersenyum. Cahaya hijau menginginkan aku menebus dosa dengan cara mati. Tapi nyatanya mati belum juga menjemput.

  Dikurung aku dalam kamar sempit berjeruji besi. Aku merasa bagai hidup di neraka. Siksaan demi siksaan, pukulan demi pukulan merambahi seluruh tubuhku: kepala, leher, tangan, kaki, perut, punggung, wajah bahkan kemaluanku. Aku ditanya dengan paksa, dibumbui siksaan dan pukulan. Dituduh aku merampas senjata mereka. Aku mengaku saja. Karena mengaku dipukul, tak mengaku juga dipukul. Tak beda.

  Seringai-seringai bengis berdisis-desis saat mahluk-mahkluk coklat melintasi bilik jerujiku. Tatapan mereka menghujam manik mataku. Sementara itu, cahaya hijau sangat murka sebab aku masih dapat menghirup udara, meski udara yang kuhirup berat, berbau, dan sangat kotor.

  Ibuku di Desa Fajar lagi-lagi terpukul dengan kepergianku yang tanpa pamit, setelah ayahku. Ia mencariku ke mana-mana: tak ada. Dengan putus asa, ibu menjumpai seorang penduduk desa seberang yang memelihara seekor burung beo, yang konon burung itu mampu meramal posisi suatu benda, termasuk posisi manusia yang hilang.

  Dan beruntung. Beo itu benar, aku ada di ibukota, katanya. Ibu dan pamanku menyusul ke ibukota berbekal rasa cinta, kasih sayang, dan rindu kepadaku. kami bertemu di markas makhluk coklat.

  “Tolonglah, Pak, izinkan anak saya pulang. Saya sangat rindu padanya, Pak,” pinta Ibuku.

  “Tidak bisa. Dia perampas senjata. Dia harus dihukum!” jawab makhluk coklat setengah membentak.

  Tak diizinkan aku pulang. Ibu menangis. Paman menangis. Aku tidak.

  Hari berganti. Minggu berganti. Sepertinya mahkluk-mahkluk coklat itu tak suka melihatku selalu bicara dengan cahaya hijau, meski isi bicaraku hanyalah perjanjian-perjanjian penebusan dosa. Akhirnya, mereka membawaku paksa ke sebuah tempat. Jauh sekali. Seperti di alam mimpi.

  Di sana, mahkluk-makhluk putih menyambutku dengan anggun menebar senyum. Aku melayang. Mereka menuntunku. Mereka membimbingku. Mereka baik-baik, tak seperti mahkluk yang kutemui sebelumnya: beringas, kejam, bengis, suka menyiksa.

  Mahluk-mahkluk putih itu saling bekerja sama di antara mereka. Mereka bisa masuk ke dalam perasaan, pikiran, dan anganku. Mereka memberiku makanan bergizi. Mereka juga memberiku butiran-butiran merah, putih, biru, coklat, kadang kuning. Aku dapat tidur nyenyak. Cahaya hijau pun sudah tak berdaya, terkulai lemah, matanya layu. Ia hanya dapat menguasai jari-jari kakiku.

  Orang-orang putih begitu perhatian kepadaku, juga kepada teman-temanku di tempat yang penuh bayang-bayang abstrak itu. Di situlah aku berada kini, bertahun-tahun.

Banda Aceh, April 2004





Label:artikel
0 Responses

Post a Comment