Ibnu Zakariya Hasan

oleh: Ragdi F. Daye

“Pikiran saya sedang di pantai. Rozar mau bunuh diri.”
Serbet warna putih itu bergeser di atas meja lapis kaca.

Tangan berjemari kecil-kecil mengambil. Membaca baris kata. Memandang wajah risau di depannya seraya menghembuskan napas. Ada apa, Dik?


Hiru

Hujan teramat jahat. Saya menggigil di lobi hotel Permindo. Uni datang dari Jakarta. Tapi saya tidak punya rasa gembira. Saya tidak menjemput ke Bandara Tabing. Ke hotel ini pun terpaksa karena tadi Uni kirim pesan: Temui Uni malam ini pukul setengah delapan. Penting. Tentang masa depanmu.

Bukan apa-apa.

Saya sedang tidak gembira.

Saya sedang rusuh. Rozar saya tinggalkan di Bungus. Kemah Bakti Mahasiswa. Ia depresi. Frustasi oleh luka-luka yang disayatkan oleh orang yang dipercayanya.

Saya terpaksa meninggalkannya gara-gara Uni datang. Kenapa Uni ke Padang pada saat saya susah untuk merasa bahagia.

Asmarani

Wajahnya basah. Aku bingung. Tak menyangka kalau orang yang disebut-sebut Pak Yak itu ternyata hanya seorang pemurung. Ia cuma menekur atau membuang pandang ke relung-relung berhias motif etnik.

“Dia penulis biografi berbakat. Amat pandai menjalin perjalanan hidup seseorang sehingga begitu hidup dan dramatis. Ada beberapa orang tokoh yang setuju dibuatkan biografinya oleh Hiru.”
Aku diperintahkan untuk menyempatkan diri menemuinya dalam perjalanan tugas di kampung halaman, Sumatera Barat. Penerbit tempatku bekerja mau mengontraknya.

“Bagaimana kalau kita cari tempat yang cukup nyaman untuk ngobrol?”
Kami keluar dari hotel. Ia cuma mengangkat bahu ketika kuajak memasuki restoran siap saji.

Hiru

“Aku terluka, Hiru.”

Pantai Bungus begitu teduh. Tapi laut di mata Rozar bergemuruh. Ia mengulangi kata-katanya. Keluh kesah sebagai penyesalan tak putus-putus. Telah sejak kemarin saya dijadikannya tong sampah. Bertambah-tambah kemarahannya dimuntahkan dari mulut. “Ia menipuku dengan baik-baik.”

Tentang Serga, datang dari Jakarta bawa kabar gembira. Kita bangun dunia audio visual di Sumbar. Memproduksi film-film dokumenter, atau apa, mari berkarya. Kita adakan pelatihan terlebih dahulu. Workshop. Cerita Rozar. Setelah hari-hari pontang-panting yang meletihkan itu, Serga balik ke Jakarta. Diam-diam. Setelah mengantongi selembar surat kerja sama dengan seorang pengusaha. Akan membuat film. Tanpa bicara. Sendiri mengemasi. Tanpa melibatkan kelompok panitia sama sekali.

“Aku terlalu tolol percaya bulat-bulat pada orang kalapia itu!”

Perasaan malu akibat tertipu, itu yang meninjunya.

“Perlukah kita ke pengadilan?” Saya ikut-ikutan gusar. Membanting buah ketaping yang gugur muda ke laut. Terapung-apung. “Ini penipuan!”

“Aku terlalu tolol! Bisa-bisanya dibodohi.” Rozar mencengkram pasir. Meremukkan. Aku telah mempermalukan kawan-kawan!” Rozar tegak. Lalu turun ke laut. Mengaum sambil mencabik-cabik ombak.

“Rozar!”

Saya terjun segera. Membetot tubuhnya yang melejang-lejang dengan kegeraman yang sempurna.

Lokasi perkemahan gempar.

Anak-anak baru telanjur tahu.

Dikira Rozar, ketua panitia, kesurupan. Dukun kampung langsung datang. Rozar menendang tempurung berisi kemenyan. Ia marah-marah. “Aku akan ke Jakarta! Merobek mulutnya yang pandai berjanji-janji. Atau aku mati saja di laut!”

Sampai hampir Maghrib.

Sampai SMS itu nongol membuat saya mau tak mau bertolak ke Padang karena menyangkut masa depan. Saya meninggalkan Rozar setelah menyumpal telinganya dengan serentatan kata-kata.

“Kamu jangan berbuat lebih bodoh! Apa kata anak-anak baru itu! Senior stres! Mau ditaruh di mana muka. Tidak bisa memenej konflik. Tidak lucu bila semuanya tahu masalah ini! Saya mau ke Padang, nanti malam balik lagi.”

Hati saya berat meninggalkan Rozar.

Saya merasa ia butuh saya.

“Hiru...! Hiru!”

Saya gelagapan ketika sebelah tangan melambai-lambai di depan mata saya.

“Bagaimana? Kamu bisa ikut ke Jakarta Rabu besok?”
“Apa, Ni?”


Asmarani

Kalau tak mengingat rekomendasi dari Pak Yak, barangkali telah kutinggal pergi anak itu. Sedang bicara serius bisa-bisanya melamun. Apakah baginya tawaran kontrak ini sesuatu yang sepele? Tidak sopan sekali!

“Kesempatan ini belum tentu akan datang dua kali, Hiru!”

Ia menatapku. Lurus. Lama.

Aku jadi rikuh. “Maaf, Uni tak mengancam.”

Tapi mata itu terus menikam tajam.

“Ada yang kamu keberatan? Masalah royalti? Atau akomodasimu ke kantor pusat, tenang...”

Hiru

Saya melepaskan pandang dari matanya. Ia telah menyerah. Saya pandang kaca. melihat ke luar. Orang-orang dan kendaraan-kendaraan disiram hujan. Permindo mengabur. Saya mungkin terlalu sensitif.

Laki-laki baik hati bernama Serga itu mengontak Rozar pertama kalinya juga dengan begitu arif bijaksana.

“Saya mau buka cabang di Padang. Sebagai langkah awal kita adakan rekrutmen, kemudian wokshop dan pembekalan pengurus. Setelah itu mulai berproduksi. Kamu bisa coba-coba bikin skenario. Nanti kita kerjakan bersama. Dananya ada. Oke, kan?”

Rozar yang punya impian pun menggalang teman-temannya membentuk panitia—saya kebetulan tidak terpikat pada bidang itu—dan menyelenggarakan acara yang lumayan sukses dengan susah payah.

Tapi Serga pergi begitu saja. Setelah dapat order sekian juta. Buat film pesanan. Rozan dan teman-teman gigit jari, padahal orang-orang telah (diberi) tahu bahwa mereka akan membuat film bersama orang film ternama dari Jakarta.

Maka saya jadi meragukan mulut yang berkotek-kotek merdu di depan saya. Tidakkah perempuan rancak ini juga seorang penipu yang pintar bersopan-santun?

Asmarani

Aku jadi jengkel.

Tatapannya kurang ajar. Seperti mencibir.

Menangkal gerah kukudap keripik pedas-manis di piring pipih.

“Ada masalah?”

Ia meraih serbet. Membuka lipatannya. Mengambil pena dari tas. Menoreh kertas lembut itu dengan ujung bertinta. Lantas menggesernya ke dekat tanganku tanpa bercakap sepotong pun.

“Siapa Rozar?” Aku selesai membaca.

“Untuk apa kamu tahu?” Kamu. Bukan 'uni' seperti sebelumnya.

“Kenapa ia mau bunuh diri?”
Mukanya merah. Tangannya menumbuk meja. Retak.

“Pertemuan ini omong kosong saja, bukan? Apa misi kamu dengan memanfaatkan saya? Cari uang untuk apa?!”

“Hiru, saya tidak mengerti!”

“Kamu penipu, bukan?!”

“Apa maksudmu?!”

“Sudahlah! Saya tidak punya waktu untuk melanjutkan omong kosong ini!”

“Hiru!”

Ia berlari ke pintu. Mendorong pramusaji hingga terjuangkal. Ke luar menerobos hujan.

Murka, aku duduk terhenyak. Memencet keyboar HP keras-keras. SMS ke Pak Yak.

“ANAK ITU GILA!”


Hiru

Saya berlari di Permindo yang basah.

Hati saya seperti dicucuk oleh rasa sedih dan muak yang begitu semesta. Rozar yang dikhianati. Kenapa saya meninggalkannya. Hanya untuk obsesi saya. Apa sikap saya tidak tolol pula?

Rozar. Rozar! Maafkan saya!

Saya berlari mencari angkutan umum biru tua 407.

Saya harus segera ke Pantai Bungus.

Swing...! Swing...!

“Ya, halo!”

“Hiru di mana kamu?!”

Azwar!

“Ada apa?!”

“Rozar, dia...”

Tubuh saya merapuh. Saya terjatuh.



2 Oktober, malam setelah hujan

Melewati Permindo yang selalu ramai, saya menyempatkan berdiri di seberang resto yang berdampingan dengan hotel itu. Dada saya menggigil. Di tepi jalan itu setahun lalu saya terjatuh dan menangis.

Saya remas bungkusan kenang-kenangan acara bedah buku biografi Gamawan Fauzi yang akhirnya saya tulis juga dengan setengah hati.

Saya masih susah memaklumi tindakan saya hari itu.

Meninggalkan Rozar.

“Aku terluka, Hiru.”

Saya pergi

Dan Azwar menelpon saya, malam itu. “Hiru, Rozar tenggelam!”

Dada saya sesak.

Kembali.

Tubuh saya merapuh. Saya terjatuh.



Padang, Oktober 2004




Label:artikel
0 Responses

Post a Comment